Membuat kue lebaran (hariansumutpos) |
Bencana letusan Gunung Sinabung, memaksa ribuan warga, yang berdiam di sekitar lerengnya dengan radius 6 Km, untuk sementara harus lebih lama meninggalkan kediaman masing-masing.
Bagimana tidak, status tanggap darurat gunung yang sejak, Minggu (29/8) dini hari lalu meletus dan ditetapkan menjadi tipe B, awalnya ditetapkan hingga tanggal 9 September 2010 harus diperpanjang dua minggu (24/9).
Level IV, status awas yang belum kunjung di turunkan pihak vulkanologi, mengingat aktivitas gunung yang beradma di ketinggian 2451 m dpl itu masih tinggi, membuat Pemkab Karo mengeluarkan surat keputusan baru terkait status tanggap darurat.
Sesuai keterangan Kabid Humas Pemkab Karo, Jhonson Tarigan, perpanjangan status tanggap darurat itu berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Karo, no 800/179/huk-orta/2010. Menurut Jhonson, perpanjangan status tanggap darurat itu, setelah berakhirnya penetapan status tanggap darurat sebelumnya.
Selain itu, kata Jhonson, petugas Pusat Vulkanologi dan Migitasi Bencana Geologi (PVMBG) masih terus melakukan pemantauan selama dilakukannya perpanjangan status tanggap darurat bencana alam letusan Gunung Sinabung itu.
Duka dan kepedihan atas bencana terlihat jelas di raut wajah pengungsi. Rasa jenuh, bosan seiring was-was, menghiasi suasana camp-camp pengungsisan. Rasa itu, semakin mendalam khusnya bagi pengungsi yang memeluk agama muslim, dimana lebaran harus dirayakan sangat jauh berbeda dengan sebelumnya.
Salat Idul Fitri dengan kondisi lahir batin seadanya dan bergabung dengan warga setempat di masjid sesuai arahan panitia lokal membuat pengungsi yakin akan ada karunia yang lebih besar dari pencipta.
Tidak ada persiapan khusus, baik sandang maupun pangan, oleh pengungsi yang beragama Islam, dalam menyambut lebaran. Kondisi ini telah diprediksi beberapa hari sebelumnya oleh berbagai pihak. Nuansa pasrah menyambut Hari Raya tahun ini, kerap dinyatakan sesama pengungsi atau kepada jurnalis yang melakukan peliputan.
Tidak ada aroma pembuatan kue, bau-bau khas masakan muslim yang seyogyanya di lakukan sepanjang tahun di kampung masing-masing di areal camp pengungsian. Makanan serta kue seadanya, juga di fasilitasi oleh panitia lokal pengungsian atau ada juga beberapa diantaranya yang dibawa oleh sanak family pengungsi.
Namun, dengan kondisi perayaan yang sangat minimal. Sejumlah pengungsi, Jumat (10/9) mengatakan, sangat mensyukuri nikmat karunia yang masih diberikan Allah hinggga saat ini. Hikmah lebaran tahun ini diyakini menjadikan mereka, merasa lebih dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Selain itu, rasa kekerabatan sesama pengungsi dan warga sekitar dirasakan semakin erat. Hubungan toleransi antar umat beragama dirasakan begitu kuat di kamp pengungsian. Saling menghormati itu terlihat tinggi terlihat diseluruh camp pengungsian. Menurut pengungsi rasa itu tumbuh dikarenakan perasaan senasib-sepenaggungan.
Dari sejumlah perayaan lebaran di kamp pengungsian bencana Sinabung, ada yang manarik di kamp pengungsian Jambur Taras Berastagi. Jamuan makan malam oleh pengungsi kepada panitia lokal, pers, dan segenap pihak yang dianggap berperan dan banyak membantu mereka.
Bahan makanan, untuk komsumsi makan malam, yang disediakan panitia dan donatur, di masak dan disajikan langsung oleh pengungsi. Sajian dan hidangan selayaknya menjadi tuan rumah itulah kesan yang terlihat jelas. Raut ceria pengungsi, menyajikan hidangan makanan, seolah melupakan mereka akan bencana yang tengah dialami.
Suasana miniatur lebaran, terlihat di sana. Usai makan malam, sajian kue kering seadanya juga tidak ketinggalan disuguhkan pengungsi. Suasana yang sulit diungkapakan dengan kata-kata, menghiasi acara lebaran singkat kemarin.
Silaturahmi non formal, antara pengungsi dengan penanggung jawab posko yang juga Camat Berastagi Swingly Sitepu, didampingi Koordinator, yang juga kepala desa Rumah Berastagi, Moro Purba, dan ketua Pelaksana, Naksir Purba, tidak terlepas dari geraian air mata. Ungkapan syukur dan terimakasih pengungsi atas perhatian dan kerja sama panitia local dan warga setempat membuat air mata tidak dapat dibendung.
“Kami ingin kekerabatan ini tidak hanya sampai di sini Pak. Usai bencana ini, kami ingin kita menjadi keluarga. Undanglah kami, baik acara suka dan duka. Banyak yang telah diberikan kepada kami. Ibadah puasa kami juga berjalan dengan baik. Toleransi antar umat beragama, kami rasakan sungguh besar di tempat ini,” ucap Chairiah br Bangun sambil mengusap air matanya kepada Camat, Kades dan sejumlah panitia lokal.
Mewakili pengungsi yang berlebaran, ibu lima anak ini juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah banyak mengulurkan tangan dan bantuan. “Kami tidak dapat membalas, apa yang telah di berikan kepada kami, Alla lah yang akan memberikan balasan kepada orang-orang yang telah menolong kami,” katanya lagi.
Camat Berastagi mewakili panitia lokal meminta maaf kepada pengungsi muslim, jika selama menjalankan ibadah puasa, pihaknya memiliki kekurangan. “Saya beragama Nasrani, mewakili umat Kristen di Kecamatan Berastagi, saya memohon maaf atas kekurangan yang kami perbuat, khusunya ketika selama pengungsi menjalankan ibadah puasa,” kata Swingly.
Sebelumnya, usai Salat Idul Fitri, pihak panitia local menjamu makan seluruh pengungsi (Jambur Taras Berastagi, Red) yang merayakan lebaran. Malam harinya, pihak pengungsi yang menjamu makan malam (bahan pangan disediakan). Informasi yang diperoleh wartawan, perayaan lebaran dirayakan secara sederhana dengan versi berbeda di setiap camp pengungsian.
Dalam pelaksanaan Salat Idul Fitri, pengungsi bergabung dengan warga setempat di mesjid yang dihunjuk pemerintah atau disejumlah yang disediakan khusus bagi pengungsi. Tidak banyak diantara pengungsi yang melakukan lawatan Lebaran ke rumah sanak family. Mayoritas keluarga pengungsi yang melakukan silaturahmi ke camp pengungsian.(hariansumutpos.com)
No comments:
Post a Comment